Yang Duduk Berdua, Menyanyikan Puisi dengan Sederhana

Jpeg

Hujan gerimis jatuh di Yogyakarta, Senin sore (9/5/16). Di salah satu jalanannya, seorang pria menerabas hujan dengan motor 125cc butut berwarna merah. Tak lama setelah masuk Jl. Parangtritis, dia mengambil belokan ke kanan di sebuah perempatan kecil. Hore, dia sampai Jalan Tirtodipuran.

Motornya melambat, bersamaan dengan kepala si pria yang condong ke arah kanan. Dia tidak menengok ke kiri, bukan karena takut dicap kekirikirian, tapi murni karena lokasi tujuannya berada di arah kanan. Sebuah kedai dengan nama yang masih aneh di telinganya. Kedai Kebun Forum.

Kedai itu, menurut info yang si pria dapat, menjadi titik penjualan tiket konser tur dari duet Ari dan Reda (lebih akrab dengan Ari Reda). Dan Senin itu menjadi hari pertama penjualan tiket konser berjudul Still Crazy After All These Years ini. Si pria merasa tidak boleh melewatkan hari itu. Selain takut kehabisan tiket, barangkali dia juga takut akan melewati hari itu dengan sia-sia jika tidak melakukan apa-apa.

Jam 16.00 hampir lewat, si pria yang mulai kuyup menghabiskan Jl. Tirtodipuran begitu saja—yang entah sejak kapan menjadi jalan satu arah (timur ke barat). Meski sudah hampir tengeng karena menengok ke kanan, dia, dengan mudahnya, gagal menemukan KKF, yang faktanya sudah beberapa kali dikunjunginya. Dia heran, lalu menepikan motornya di selatan perempatan. Rasa herannya berakhir dengan kesadaran. Pria 25 tahun dengan rambut yang mulai habis itu akhirnya tertawa sendiri menyadari kebodohannya.

Karena Jalan Tirtodipuran adalah jalan satu arah, si pria harus memutar terlebih dahulu. Tidak ingin tertawa untuk alasan yang sama, dia lebih teliti, dan menemukan KKF. Lokasi KKF berada, hanya beberapa meter sebelum perempatan. Meski dengan alasan berbeda, si pria berhasil menahan tawanya.

Transaksi terjadi cepat. Dua kuitansi, masing-masing untuk dua tiket berpindah tangan. Satu orang, maksimal pembeliannya hanya dua tiket, kata salah satu penjaga. “Tapi karena Masnya sudah hujan-hujanan, ngga apa-apa deh,” lanjutnya.

Akhirnya, pria yang tidak soleh-soleh amat itu pulang dengan gembira.

 

Seminggu kemudian, Senin 16 Mei 2016… Continue reading “Yang Duduk Berdua, Menyanyikan Puisi dengan Sederhana”

Suara-suara dari Ketinggian yang Tak Seberapa

Jpeg
Sun-ceriping-set dari bukit Parang Endog.

Menjelang sore tadi, saya menyambangi lagi, setelah sekian lama, bukit Parang Endog, Parangtritis.

Terakhir kali, tempat ini belum diratakan seperti sekarang. Barangkali untuk keperluan paralayang dan hal-hal yang mendukungnya.

Hari ini sekaligus pertama kalinya saya menemukan para pelaku olahraga paralayang di bukit ini. Sebelum hari ini, saya hanya menemukan orang-orang yang ke bukit ini untuk menikmati pemandangan laut dari ketinggian, atau mengejar detik-detik matahari terbenam.

Jpeg
Penampakan olahraga paralajang. Hmmm…

Duh, saya malas bercerita. Intinya saya ke bukit Parang Endog hari ini. Melakukan beberapa aktifitas tidak penting. Sisanya, memandangi apa yang bisa.

Oh iya, tidak ada jingga semburat hari ini.

Tapi, sebelum berangkat ke lokasi, saya sempat menyusun daftar putar. Saya kira ini lebih penting untuk diceritakan.

Bayangkan, saya duduk di ketinggian (yang tidak seberapa) melihat laut dan matahari yang bergerak malu, meminum sekaleng kopi, memakan seplastik cemilan, menyulut berbatang-batang rokok, menyumpah pasangan-pasangan, sembari mendengarkan tembang-tembang yang beberapa cukup riskan didengar sendirian. Meski, tenang saja, ini bukanlah suatu tragedi.

Maka inilah…

  1. Sonjaya – Sang Filsuf

Baru dua hari saya menemukan-mendengarkan tembang ini. Awal mula ketertarikannya saat menemukan potongan liriknya di-post oleh salah satu akun Instagram yang saya ikuti. Akhirnya saya menemukan tembang ini di Soundcloud. Dan, hahaha, ternyata saya menyukainya.

Oh, sepotong lirik yang membuat saya tertarik itu adalah: Bukanlah suatu tragedi jika kamu jatuh cinta lagi.

  1. Banda Neira – Langit dan Laut

Langit dan laut, dan hal-hal yang tak kita bicarakan

Biar jadi rahasia

Menyublim ke udara

Hirup dan sesakkan jiwa

Tembang kesembilan dari album terbaru Banda Neira ini juga baru saya temu-dengar dua hari, meski berbeda kasus dengan Sang Filsuf. Saya diberitahu teman kalau Banda Neira mengunggah tiga judul baru di akun Soundcloud-nya—pasca Yang Patah Tumbuh, yang Hilang berganti, Pelukis Langit dan Sampai Jadi Debu. Dan saya memilih judul ini untuk dibawa ke ketinggian bukit Parang Endog.

Nganu, tidak ada komentar.

  1. Sheila on 7 – Berlayar Denganku

Bukan (sepenuhnya) karena judulnya yang ke-laut-lautan. Toh, akhir-akhir ini saya memutar tembang ini lebih sering dibanding kompatriotnya di album Berlayar. Ya gila juga kalo harus memilih judul Bait Pertama. Pffft.

Nganu, tidak ada komentar juga.

  1. Mocca – Hyper-Ballad

Saya masih yakin kalau tidak banyak yang mengetahui bahwa Hyper-Ballad ini (((sejatinya))) merupakan tembang milik Bjork (album Post, 1995). Oleh Mocca, judul ini dinyanyikan dan dimasukkan dalam album Colours (2007).

Baik versi Bjork maupun Mocca, Hyper-Ballad adalah kengerian yang nyata.

I’ll go through all this
Before you wake up
So i can feel happier
To be safe up here with you

  1. Mono – The Last Dawn

Sudah, didengarkan saja.

  1. Radiohead – Spectre

Hahaha. Mau bagaimana lagi. Rilisan teranyar Radiohead sih.

Tembang paling noir dari daftar ini.

 

The only truth that I could see

Is when you put your lips to me

 

  1. Rhye – Open

Jika ini pertama kali teman-teman bertemu Rhye, dan memutuskan untuk melihat-dengar VM Open sebagai perkenalan, barangkali kalian akan mengira vokalisnya seorang perempuan. Saya dan beberapa kawan berpendapat begitu.

Ngomong-ngomong, VM-nya sudah bahari banget, kan? Hahaha.

  1. Karen O and The Kids – All is Love

https://soundcloud.com/ianbhoy/karen-o-and-the-kids-all-is-love-ost-where-the-wild-things-are

Judul pertama Karen O yang saya dengar (selain di YYY) adalah The Moon Song (Ost. Her). Beberapa detik kemudian… voila, saya punya album Ost. Where the Wild Things Are.

Tembang ini lucu. Dinyanyikan bersama anak-anak. Salah satu penyelamat daftar yang saya buat.

  1. Brook (One Piece) – Bink’s Sake

Binkusu no sake wo, todoke ni yuku yo (Going to deliver Binks’ Sake!)
Umikaze kimakase namimakase (Following the sea breeze! Riding on the waves!)
Shio no mukou de, yuuhi mo sawagu (Far across the salty depths! The merry evening sun!)
Sora nya wa wo kaku, tori no uta (The birds sing as they draw circles in the sky !)

Saya ingat tembang ini dinyanyikan Brook pasca insiden Straw Hat Pirates dengan Bartholomew Kuma di Thriller Bark. Katanya, ini tembang wajib bajak laut, terutama saat pesta.

Sembari mendengarkan ini di Parang Endog, bolehlah membayangkan Thousand Sunny Go mampir ke Parangtritis, untuk kemudian menjumpai adegan di mana Mugiwara no Luffy mengajak saya menjadi nakama ke sembilan. Kami memuseumkan Sunny Go, lantas melanjutkan perjalanan untuk menemukan Raftel dengan Trans Jogja.

  1. Gorillaz – On Melancholy Hill

Masih menjadi anthem nyore terbaik. Entah sampai kapan.

Well you can’t get what you want
But you can get me
So let’s set up and see
‘Cause you are my medicine
When you’re close to me

Plus…

  1. Mono Everlasting Light
  2. Pink Floyd – Coming Back to Life
  3. Pink Floyd – Lost for Words
  4. Radiohead – Codex
  5. The Paper Kites – Featherstone

 

(20/3. Baru selesai menuliskannya pukul 02.40 sehari setelahnya.)

Karena Beberapa Kejadian tidak Diproduksi Ulang

10003443_10201225066502513_1652587497851219012_n.jpg

 

Semua berjalan begitu cepat. Harusnya tidak terlalu menyesal jika saja ini bukan batang terakhir.

Nah, gara-gara kejadian ini juga tiba-tiba saya mengingat-ingat, betapa saya (masih) sering terlambat menyadari hal-hal yang terjadi di sekitar. Beberapa bisa diacuhkan, sisanya dirangkum dalam sesal. Sungguh beruntung jika mendapat kesempatan mengulang, memperbaikinya segera. Tapi seperti filter yang terbakar ini, saya tidak bisa memperbaikinya. Hanya bisa lebih berhati-hati, jika suatu saat bisa bertemu (membeli) lagi..

Sayangnya, beberapa kejadian tidak diproduksi ulang.

 

As sure as the floor ‘neath my toes,
And somehow not surprised,
That I was superimposed
Somehow in this life.
And if my friends and my foes
Would just drop me a line
That’d be nice

You see love is a drink
That goes straight to my head
And time is a lover
And I’m caught in her stead
And the sentiment there follows me
Straight to my bed
Through the night

I’ve got my life in a suitcase
I’m ready to run run run away
I got no time cause I’m always
Trying to run run run away
Cause everyday *when it* feels like it’s only a game
I’ve got my life in a suitcase, a suitcase, a suitcase
A suitcase

What could be an anchor here,
With a storm on the rise,
When you never meant to see so clear,
When smoke gets in your eyes
And the man in the moon
Never makes his replies understood

I’ve got my life in a suitcase
I’m ready to run run run away
I got no time cause I’m always
Trying to run run run away
Cause everyday *when it* feels like it’s only a game
I’ve got my life in a suitcase, a suitcase, a suitcase

For a moment I was warm and the world made sense
For a moment in this storm made of consequence

I’ve got my life in a suitcase
I’m ready to run run run away
I got no time cause I’m always
Trying to run run run away
Cause everyday *when it* feels like it’s only a game
I’ve got my life in a suitcase, a suitcase, a suitcase
A suitcase

 

(4/3. Yang menyedihkan, huruf-huruf di atas saya tulis dua tahun lalu. Dan masih relevan sampai sekarang. Kan tolol.)

Tiga Setengah yang Ditunggu dari Pejantan Tangguh

Atap GOR UNY saat penampilan Sheila on 7 Sabtu malam (20/2). Hmmm...
Atap GOR UNY saat penampilan Sheila on 7 Sabtu malam (20/2). Atap… Hmmm…

Saya menyukai Sheila on 7, meski bukan pendengar yang baik. Dan kemarin Sabtu saya menonton mereka lagi. Hore. Bersama Ada Band sebenarnya. Tapi sudahlah, saya tidak akan menulis tentang mereka, kecuali Manusia Bodoh, mungkin, suatu hari.

Jadi, sudah tahu kan kalau yang jadi badut di video musik Manusia Bodoh itu Aldi Taher Trio Ubur-ubur?

Dari sembilan album yang telah mereka rilis, hanya satu yang saya dengarkan dengan sungguh-sungguh. Pejantan Tangguh.

Tak pernah ku merasa hawa sehangat ini / di dalam hidupku
Kau beri dan kau bagi semua marah dan candamu / ku harap hanya untukku
Tak pernah ku hinggapi bahagia seperti ini / jatuh hat
Tumbuhkan nyaliku tuk nyanyikan kepadamu / aku cinta
Sesaat tersenyum dan kau pun lalu terdiam
dan berpaling biaskan laguku

Seolah tak tahu hanya engkau yang ku tuju
Akan kunantikan hatimu mengiyakanku
Ku mau kau tahu tiap tetes tatapmu
Iringi tanyaku kapan kau jadi milikku

Saat kau maratap / saat kau bahagia / ku ingin ada di sana
Saat ku melangkah / saat ku berpijak / adakah kau bersamaku?


Saat album tersebut dirilis, saya berusia 13 tahun—belum tahu coli (njuk ngopo???). Kesempatan saya mendengar album ini datang karena kakak membeli kaset dan cakram padatnya—sampai hari ini saya masih tidak tahu, dari mana kakak saya mendapatkan uang untuk membeli rilisan fisik waktu itu. Menabung? Apa yang mau ditabung. Haha.

Saya tidak bisa melupakan sampul albumnya, yang sejak pertama kali melihat sampai hari ini tetap saya bilang konyol. Tapi biarlah. Saya sempat mengobrol dengan seorang teman tentang kekonyolan-kekonyolan yang ditemukan di band ini: sampul album, video musik, dll. Kesimpulannya, kekonyolan mereka selalu bisa dimaafkan. Sudah, itu saja. Tidak ada perdebatan.

Selain Coba Kau Mendekat dan Pendosa, saya pernah melewati fase hidup berlatarkan judul-judul di album keempat ini.

Untuk track 1, 2 dan 3 tentu tidak perlu ditanyakan mengapa. Dari entah sejak kapan sampai hari ini, tanpa tendensi tertentu, saya memilih track 4, 6 dan 11 sebagai favorit saya di Pejantan Tangguh: Pilihlah Aku, Tanyaku, Jangan Beritahu Niah. Seharusnya empat, dengan track 9, Ketidakwarasan Padaku. Tetapi 3 tahun terakhir, saya tidak bisa mendengarkannya sampai selesai. Otomatis saya tekan next saat lagu akan mencapai 02:05. Saya menganggap menit 02:05 sampai 02:14 sebagai musik barongsai yang, jujur saja, meruntuhkan mood saya.

Jadi barangkali lebih aman menyebut track favorit saya hari ini, dari Pejantan tangguh sejumlah 3,5.

Dan kemarin… senang sekali karena Tanyaku dimainkan secara penuh. Di penampilan-penampilan So7 lain yang pernah saya datangi, judul ini bahkan tidak pernah masuk dalam daftar medley. Meski percuma, silahkan bayangkan kebahagiaan saya malam itu. Tulisan ini juga tidak akan bisa menggambarkannya.

Tidak tahu apakah sisa 2,5 lagu favorit saya di album Pejantan Tangguh turut dibawakan atau tidak. Saat Pemuja Rahasia dinyanyikan, saya sudah keluar dari GOR ONY. Jika ternyata yang 2,5 juga dibawakan, saya harus menyesal. Harus.

Maka, mari lihat di lain kesempatan. Semoga di kesempatan itu, saya menemukan sisa judul favorit itu dan bebas menangis.

Dan ketika itu terjadi, tolong jangan beritahu Niah… AFI. Dari: Adhit AFI.

Bajingan, lawas.

(21/2. Yha~)

NB: Tidak berencana menuliskan ini, jadi tidak ambil foto. Sedih. Pingin dipeluk. 😦

Tentang “reretak” #1: Senja

2014-09-22 18.17.03

 

 

2014-09-22 16.16.58

 

 

2014-09-22 16.18.50

Wacana menahun akhirnya terealisasikan. Hore! Yap, media fisik bernama reretak ini adalah sebentuk “sik penting dadi” dari keinginan personal saya untuk membuat media dengan etos bersenang-senang. Meski jauh dari kata teratur, edukatif dan menarik, kegembiraan karena media ini lahir dengan selamat sudah tak terkejar oleh ketiganya. Perlu diketahui bahwa reretak, lahir dari rahim kemalasan yang amat sangat.

Saya tidak terlalu memedulikan sebutan apa yang tepat untuk media ini. Akan lebih menarik untuk menceritakan bagaimana akhirnya kumpulan kertas ini tergenggam. Reretak dibuat dalam waktu satu minggu, dimulai pada Senin (15/9) dan diproduksi Senin berikutnya (22/9). Sebelum hari pertama pengerjaan, saya bahkan tidak berpikir sedikitpun untuk membuat media ini. Sampai pada saat dimana saya bangun terlampau pagi di hari Senin (15/9) dan tidak tahu harus melakukan apa. Setelah berpikir sejenak, saya menemukan kembali niat untuk menulis di media cetak setelah sekian lama. Hanya kali ini saya ingin sak karepku.

Tema senja dan mahasiswa baru (Maba) menjadi kandidat kuat. Bahkan awalnya, kedua tema ini saya upayakan berdampingan di edisi pertama. Begitu niat terkumpul, saya langsung menghubungi Iok dan serta merta memintanya untuk berkontribusi. Syukurlah, dini hari itu Iok belum tidur. Yang lebih disyukuri, dia dengan senang hati mengiyakan permintaan tolong saya. Iok bahkan menyelesaikan artikelnya kurang dari setengah hari. Sebelum artikel Iok sampai, saya sudah menghubungi beberapa kawan lain untuk turut berkontribusi. Feri, Anis, Mas Ngaliman, Mbak Arleta, Mbak Kiki, dan yang terakhir Adam. Saya kembali bersyukur karena mereka tidak keberatan sama sekali.

Betapa menggembirakan mengetahui ketertarikan kawan-kawan saya untuk membantu edisi pertama ini, sedang mereka hanya saya beri waktu maksimal tiga hari. Bahkan Mbak Kiki menulis dua artikel (maba, senja). Tema Maba akhirnya saya tangguhkan karena selain Mbak Kiki (dan Mbak Eta), semuanya berkontribusi tentang senja. Ditambah, saya belum tahu akan menulis apa tentang Maba. Senja akhirnya menjadi penuh edisi pertama yang tercetak ini. Tentu kawan-kawan saya tidak bisa protes atas pemilihan tema tersebut.

Perihal desain dan tata letak menjadi kerumitan, karena baru kali ini saya melakukannya. Saya belum paham fitur dan tips menggunakan Corel (apalagi aplikasi desain yang lain). Hasilnya? Ambyar! Satu rubrik bahkan tidak keluar saat dikonversi menjadi PDF. Beruntung bukan artikel kontributor. Ya seperti itulah. Setalah mengahbiskan seminggu untuk minta bantuan, menulis dan mendesain, saya mencetaknya. Seusai cetak, saya tahu harus merayakannya dengan cara apa.

Tidak ada yang boleh disalahkan kalau ada yang (kebetulan) ingin versi digitalnya. Hanya saja, media ini memang diniatkan dari awal untuk dicetak, sampai suatu saat dimana saya merasa fisik yang saya cetak ini tidak lagi penting. Maafkan. Tradisi fotokopi saya rasa belum basi.

Tema “Senja” saya pilih atas keyakinan saya bahwa manusia membutuhkan senja. Entah untuk disukai, atau dibenci. Entah sebagai hiburan, entah sebagai kambing hitam penderitaan. Meski senja tidak mungkin terangkum dalam 20 lembar, baru ini yang bisa saya tulis dan minta pada kawan-kawan saya. Silahkan lengkapi dengan senja yang masing-masing inginkan.

Karena percayalah, senja adalah sebentuk romantisme yang tak pernah usang. Maka bergembiralah, sambil berharap hari ini senja masih akan datang. Tabik!

(24/9. Ah, terima kasih untuk siapapun yang telah mau meluangkan waktunya untuk melihat sekumpulan ini. Sekumpulan ini selalu menyediakan pilihan: dibaca atau diabaikan; disimpan atau dibuang. Nah, kemudian, mbok saya dikasih kritik dan saran. Serius.)

Luka yang Tidak Kamu Ketahui

2014-04-10 15.17.35Kamu coba menyelesaikannya dengan derai setelah gagal menghapal tiap luka untuk pertama kalinya. Pelipis kanan dan bibir yang robek, lengan kiri yang lebam, tiga tulang rusuk yang patah… lalu entah di mana lagi. Darah menetes dari pelipismu. Kamu tak nampak ingin berhenti menghapal luka-luka itu, yang begitu rapat. Luka-luka, yang kini tak terlihat intim bagimu. Tidak. Tidak seintim dulu.

Aku ingat perkataanmu. Luka-lukamu itu, yang dulu, adalah sejarah perjalanan yang kamu menangkan. Sebagaimana perjalanan yang maklum dilakukan sendiri, tak pernah ada penolakan atas setiap goresan di tubuh. Tak pernah. Luka adalah bukti atas kebebasan yang berhasil dipegang teguh, tak bisa diminta dengan paksa oleh siapapun, oleh apapun. Luka hanya layak diperoleh begitu manusia berhasil berdiri, memuncaki ketakutan.

Setelahnya kamu akan pulang bersama mereka semua. Cerita-cerita, luka-luka. Memeliharanya. Dan sebagaimana lagu-lagu yang mengutarakan kerinduan penyanyinya akan rumah, kamu pun begitu. “Your heart is the only place that i call home,” jawabmu sebelum asyik menyeka darah di sudut bibir.

Satu luka seperti satu buku yang kau letakkan di perpustakaan. Luka-luka di tubuhmu adalah buku-buku yang kamu temukan, kamu simpan dan arsipkan di rak-rak perpustakaan berupa tubuhmu. Buku-buku itu, luka-luka itu, yang telah dan akan terus melengkapi ingatanmu mengenai perjalanan.

Luka pertamamu kamu dapat saat kamu, aku, masih kecil. Sore itu, kamu menyaksikan aku dan kawan-kawanku yang sedang bermain bola di sebuah lahan kosong bekas rumah nenekmu. Kamu duduk di sebuah batu besar di tepi sungai. Permainan belum  lama ketika bola yang aku tendang melenceng jauh, melewati kepalamu, lalu jatuh di sungai. Seorang kawanku berteriak, “Hei, ambilkan bola itu atau aku memukulmu.”

Sampai hari ini aku tidak yakin bahwa kamu mengambil bola itu karena ucapan kawan kasar kawanku. Kamu bahkan telah beranjak dari batu itu sebelum bola yang kutendang melewati kepalamu, seperti siap melakukan sesuatu jika bola itu jatuh ke sungai. Aku tidak pernah menanyakannya.

Kamu bergegas turun ke sungai. Meski sungai itu dangkal, tidak berarti bola itu akan diam dan patuh pada permintaan kami agar bola itu tidak hanyut. Kamu melangkahkan kakimu sedikit lebih cepat ketika bola nampak bergerak mengikuti aliran air. Aku dan kawan-kawan bermainku hanya melihat dari tepi sungai. “Ayo cepat diambil!” teriak kawan-kawanku berulang kali. Tepat di teriakan mereka yang terakhir, kamu terpeleset, dan jatuh terjerembab. Kepalamu nampak mengantuk batu.

Melihat kejadian itu, kawan-kawanku tiba-tiba berlarian pulang. Aku hanya diam saja, terpaku di tepi sungai. Tak berapa lama, kamu sudah berdiri di hadapanku, mendekap bola yang basah. Pada bola itu terdapat sedikit air berwarna merah, lalu semakin merah. Aku coba menatapmu. Ada darah di pelipis kepalamu. Darah itu, mengalir melewati dahi, pelipis, pipi, janggut, lalu menetes perlahan memerahkan bola yang kamu dekap. Aku menerimanya. Kamu tertawa. Lalu aku pulang mendekap bola yang kemerahan itu. Aku berbalik sekali dan mendapatimu tersenyum. Melihat senyum itu, aku mengerti kalau luka pertamamu itu bukan luka terakhir yang akan aku lihat.

Kamu tak juga berhenti. Menderai lagi, menghapal lagi. Menderai penderitaan, menghapal kesia-siaan. Keadaan yang menerus dan berulang. Derita yang sama, kesia-siaan yang sama. Sayang… luka seperti apa lagi yang kamu cari?

Aku menghela napasku. Luka apa yang tak berhasil kamu hapal? Luka yang seperti apa lagi? Adakah luka yang letaknya tak kamu ketahui? Mungkin luka itu yang menyerabut tawamu untuk pertama kali. Merampas intisari dari setiap luka sebelum ini, yang kamu simpan di perpustakaan tubuhmu selama ini.

Sementara itu… tidurlah di sini. Berbantalkan ingatan yang kamu rajut sendiri pada musim bunga yang tak seabadi lukamu, yang lawas dan membekas begitu jelas.

Sementara itu… berbaringlah di sini. Sampai lukamu yang kini, sembuh. Sampai ingatanmu tentang luka memulangkan cinta yang penuh-seluruh. Cinta pada luka-luka yang dulu kamu nikmati. Cinta pada luka-luka yang berhasil kamu hapal. Ingat lagi bagaimana kamu tertawa setelahnya.

Sampai akhirnya aku menemukan. Menjelaskan secara perlahan dan teratur padamu. Dengan kata-kata yang sedemikian tenang, bahwa yang gagal kamu deraikan dan hapalkan semalaman bukanlah luka, melainkan duka. Duka adalah sayatan lembut yang tak tersentuh dan dalam, melukai perasaan. Duka adalah peniadaan dengan segera, atas segala upaya dan hasrat untuk menemukan, dan serta-merta menyiakan luka baru yang tertoreh di kulitmu. Duka adalah rasa sakit yang tak bisa diterjemahkan untuk seketika dilawan. Jika darah di pelipismu bisa kamu acuhkan, maka duka bukan kondisi dimana kamu bisa memilih hal yang sama, meskipun ingin. Sekeras apapun kamu coba menghalaunya, duka akan selalu sampai dengan sempurna. Luka yang tiada dua. Hingga pada akhirnya… entah kapan.

Darah di pelipismu masih menetes, semakin deras. Dan untuk pertama kalinya, luka itu tak kamu harapkan. Seperti kenangan.

Sebentar… tahu apa aku tentang duka?

 

(NB: Tulisan ini saya buat tepat sebelum menonton panggung Float tanggal 1 Juni 2014. Tapi bagian ‘luka’ dan ‘duka’ harus melewati proses debat dengan seorang kawan dari kemarin sampai tadi pagi. Menyenangkan. Memberi banyak pelajaran. Ujarnya, debat yang kami lakukan memakai metode debat Socrates. Wih, tahu apa saya soal Socrates. Hahaha.)